Senin, 31 Januari 2011

RENUNGAN DARI WP EDISI 28 TH XXXI 30 JANUARI 2011

Oleh : FX. Purnomo Setiawan

KHOTBAH DI BUKIT
      
          Dalam lnjil Matius 5: 1-12, Yesus naik ke atas sebuah bukit. Setelah Dia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. Yesus lalu berbicara dan mengajar mereka. Pengajaran ini biasanya disebut "Khotbah di Bukit".
Dalam khotbah ini Yesus menawarkan suatu kebijaksanaan hidup baru, tetapi begitu tinggi, sehingga hanya dapat diterima dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berani menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Delapan sabda bahagia ini memutarbalikkan nilai-nilai yang biasanya dianut manusia, dan memberikan janji keselamatan bagi orang yang mendengarkan dan menghayati sabda tersebut.
         Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah. Artinya orang yang miskin menurut ukuran dan pandangan Allah. Siapakah dia itu? Yakni orang yang tidak punya apa-apa atau yang hanya punya sesuatu yang paling diperlukan saja, sehingga dia menggantungkan seluruh hidupnya kepada Allah. Dia tidak punya jaminan keamanan selain Allah. Dengan demikian, miskin di hadapan Allah dapat berarti orang yang hidup dengan penuh kepercayaan dan penyerahan diri kepada Allah. Dia menggantungkan dirinya pada belas kasihan dan kebaikan Allah, dengan demikian dapat berarti menerima segala sesuatu sebagai anugerah. Orang itu bahagia, karena dialah yang memiliki Kerajaan Surga. Dia hidup dalam kebaikan Allah. Dia mengalami Allah, kehadiran dan perhatian-Nya.
         Berbahagialah orang yang berduka cita. Dukacita itu punya macam-macam alasan. Ada dukacita yang disebabkan oleh sesuatu hal yang berada di luar kekuasaan atau kendali seseorang, misalnya karena penindasan, ketidakadilan, perang dan wabah. Berbahagialah orang yang tidak kehilangan kepercayaannya kepada Tuhan dan menyerahkan dirinya kepada-Nya. Mereka akan dihibur. Ini tidak berarti bahwa Allah senang dengan segala penderitaan dan malapetaka.
          Berbahagialah orang yang lemah lembut, yaitu yang tidak menggunakan kekerasan. Mengapa hal ini ditonjolkan? Karena biasanya orang tidak suka akan kelembutan, apabila sudah diperlakukan dengan tidak adil dan dengan kekerasan. Orang akan marah dan biasanya bertindak keras pula. Lemah lembut juga berarti tidak menunjukkan kekuasaan yang dipunyai. Akan tetapi mengapa janji-Nya ialah “akan memiliki bumi, negeri, atau tanah?” Memiliki tanah termasuk hal yang sangat penting dalam hidup manusia. Tak ada orang yang mau hidup tanpa tanah, tak ada orang yang mau menjadi pengungsi. Lalu, betulkah orang yang lemah lembut akan memiliki bumi atau tanah? Janji tanah ini mungkin harus ditafsirkan tidak secara harafiah, tetapi dalam arti rohani yakni Kerajaan Surga.
          Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran. Mungkin untuk orang yang hidup di tengah masyarakat yang memusuhi imannya, sehingga tidak dapat menjalankan kehendak Allah tanpa kesulitan besar. Orang itu pasti akan dipuaskan sesuai dengan kelaparan dan kehausannya. Sabda bahagia ini bisa pula berbicara tentang lapar dan haus akan keadilan, yakni untuk orang miskin dan tertindas. Kepada mereka sabda bahagia ini menyerukan agar tidak kehilangan harapan, sebab mereka akan dipuaskan oleh Allah sendiri. Perjuangan keadilan dan perdamaian tanpa pergumulan dalam doa yang membangkitkan harapan mereka pada Tuhan, pasti akan membawa frustrasi dan kelelahan.
          Berbahagialah orang yang murah hatinya, yakni orang yang hatinya penuh dengan belas kasih kepada orang yang menderita dan yang diperlakukan secara tidak adil. Belas kasihan di sini juga bisa berarti yang tahu memberlakukan hukum dan peraturan dengan belas kasihan. Orang macam ini pasti akan mendapat belas kasihan dan kemurahan dari Tuhan.
          Berbahagialah orang yang suci hatinya, yakni orang yang jujur, tulus dan setia. Mereka akan “melihat Allah”, artinya diperkenankan untuk menghadap Allah dan mengalami kasih-Nya. Mereka akan mengenal kehendak-Nya dengan lebih jelas dan mengikuti-Nya dengan lebih mudah. Tuhan berbicara melalui hati manusia. Makin suci hati seseorang, makin terang dia mendengar dan melihat Allah. Tuhan Yesus sering menegaskan pentingnya kesucian hati, karena segala kejahatan berasal dari hati yang jahat.
          Berbahagialah orang yang membawa damai, yakni melalui kasih. Jadi tidak boleh dengan kekerasan, karena hal itu hanya membawa ketakutan, kebencian, dendam dan yang semacam itu. Yesus sendiri datang untuk membawa damai. Yesus masuk ke Yerusalem sebagai pembawa damai, dengan menunggang keledai, tetapi jalan perdamaian-Nya itu ditolak oleh para pemimpin agama Yahudi. Berbahagialah orang yang berjuang untuk menegakkan perdamaian, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Tuhan mencintai mereka.
          Berbahagialah orang yang dianiaya ofeh sebab kebenaran, yakni orang yang melakukan kehendak Allah. Orang itu lebih suka melakukan kehendak Allah daripada kehendak manusia. Baginya Kerajaan Allah itu dekat. Orang itu tidak mau tunduk kepada tekanan dan kekuasaan yang lalim dan korup, walaupun dicela, difitnah dan dianiaya. Orang itu memiliki Kerajaan Surga, karena baginya Allah harus lebih ditakuti daripada manusia.
          Murid-murid Yesus pantas disebut bahagia, karena mereka bukan saja mengikuti jejak para nabi, melainkan Yesus Kristus sendiri. Nasib mereka akan sama dengan nasib guru mereka dan karena itu mereka pantas berbahagia, bersukacita dan bergembira.
Sabda bahagia yang diucapkan Yesus dalam Khotbah di Bukit mengingatkan kita akan dua hal penting, yaitu:
  1. Apabila kita membagikan kelimpahan kita kepada orang-orang yang kurang beruntung, maka kita akan bahagia karena memiliki Kerajaan Surga.
  2. Kita harus selalu ingat bahwa di hadapan Allah, kita semua adalah miskin. Kita bergantung kepada Allah dalam segala hal. Tanpa Allah, kita bukanlah apa-apa. Dan tanpa Dia, kita tidak bisa berbuat apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar